Mavi tak ingat pasti kapan penglihatannya mulai kabur dan hilang fokus akibat air dimata yang berkerumul. Ia hanya ingat ketika seekor rusa liar yang tiba-tiba menyebrang ke tengah jalan hingga membuat lelaki itu membanting setir mobil SUVnya ke pembatas jalan dan kecelakaan tunggal itu tak dapat ia hindari.
Detik kemudian, tiap sendi tubuh Mavi yang telah terpelanting dengan hebat mulai merasakan sakit yang tak yerukur skalanya. Nyeri, ngilu, badannya terjepit oleh alat bernama seatbelt yang membuat sukar menyelamatkan diri. Mavi terjebak, tak bisa meminta bantuan.
Sialnya lagi ponsel yang Mavi letakkan di sisi tuas shift knob terlempar jauh bersama barang yang lain. Tercecer di tengah jalan raya, dengan layar menyala. Menampilkan lockscreen selfienya dengan Harvin— dunianya.
“Ha…..vin….” ucap Mavi terbata-bata, berharap suatu keajaiban yang tak pernah ia percayai benar adanya. Barangkali di detik akhir hidupnya Harvin benar-benar hadir menemuinya.
Crash— ponsel Mavi di lindas oleh mobil serupa, sialan! kini wajah Harvin dalam wujud sebuah gambar pun tak dapat lagi Mavi lihat. Ponselnya mati, bahkan layarnya sampai retak.
Di sisi lain, mobil yang melindas ponsel itu adalah bala bantuan pertama untuk Mavi.
“Are you okay!?” teriak pengemudi mobil asing itu setelah berhasil menepi, Mavi tentu bisa mendengar tapi tak mampu menjawab. Jangankan untuk bersuara, untuk bernafas saja Mavi dapat mentaksir jumlah hembusan yang tersisa.
“Kamu tak gak sih alasan sebenarnya aku nangis?” Ujar si surai rambut kecoklatan, kini mereka sedang menikmati desiraan angin malam di atas canal cruise yang menjelajahi arus Ottawa River
“Karena gak bisa dateng ke Museum?” jawaban Mavi langsung mendapat gelengan kecil dari kepala bulat kekasihnya.
“Salah” katanya