Thanks to Bu Irene’s husband yang tidak mengizinkan istrinya itu menyetir di hari penuh salju malam ini. Sehingga Harvin si anak magang yang baik hati ini dapat menggantikannya untuk mengantar Mavi pulang.
Harvin sudah tak asing dengan mobil SUV hitam yang bulan lalu sempat ia tumpangi, ia juga hafal betul dimana tempat Mavi memarkir mobil pribadinya itu, hanya saja rasa nervous di dadanya membuat Harvin sedikit lama untuk sampai pada parkiran mobil.
Fiuh… Take it easy, Harvin
Dan disanalah mata Harvin akhirnya dapat menangkap, siluet pria kelelahan yang tertidur di bangku mobil depan. Ekspresi tegasnya sudah tak lagi terlihat, digantikan oleh wajah terlelap tak bergairah. Harvin mencoba membuka pintu mobil dengan gerakan sepelan mungkin. Tak ingin lelaki tanpa daya itu terbangun. Namun sepertinya kepekaan Mavi lebih kuat sehingga ia langsung menegakkan badan dan melihat Harvin yang masih menahan pintu mobilnya.
“Vin? kok kamu disini?” suaranya serak dan terdengar parau, entah karena efek bangun tidur atau karena gejala flu nya semakin parah.
“Bu Irene nggak dapat izin dari suaminya, Pak. Jadi saya disini buat gantiin Bu Irene nyetirin Bapak pulang” jelas Harvin, Mavi tentu saja bersedia. Siapa lagi yang bisa ia mintai tolong ketika dua orang terdekatnya di Kanada tak bisa membantu? lagipula hubungannya dengan Harvin juga cukup dekat, atau lebih dari dekat malah.
“Oh… yasudah buruan masuk, dingin” titah Mavi sebab angin malam ini memiliki suhu rendah yang tak main-main, jika Harvin tetap berdiri disana dengan pintu terbuka, tubuh Mavi jadi ikut mengigil.
Harvin pun segera duduk, memasang sabuk pengaman, mobil Mavi sudah nyala mesin sejak tadi. Karena Mavi butuh kehangatan dari mesin penghangat mobil.
“Lanjut tidur aja, Pak. Nanti saya bangunin kalau sudah sampai apartement”
“Mas— Vin” tegur Mavi. Merujuk pada kesepakatan baru mereka yang harus memanggil Mavi dengan sebutan Pak hanya pada jam kerja, setelahnya Harvin harus memanggilnya dengan imbuhan Mas. Mas Mavi,-