‘Gaudi hamil, usianya tiga minggu— tapi sayang kondisi bayinya nggak terlalu baik. Kata dokter, Gaudi terlalu sering mengalami stres, nutrisinya kurang dan terlalu banyak beraktivitas. Apalagi rahim pria tak sekuat wanita pada umumnya. Jadi.. Dokter berpendapat kehamilan Gaudi kali ini akan sulit dan butuh pemeriksaan rutin.’ Tutur Laila pada suami putra keduanya. Membuat Usagi membisu penuh penyesalan.
Sembari menatap tubuh Gaudi yang terbaring lemah dipenuhi selang yang menopang hidupnya, Sagi terpuruk. Mengapa semalam ia tak pulang saja kerumah meski dengan resiko wajah memarnya di komentari. Mengapa semalam ia harus menyuruh Gaudi pergi dari rumah tanpa tau kondisi pria itu sebenarnya. Dan beribu mengapa lain yang akan ia sesali hingga seumur hidupnya nanti.
Tanpa sadar air matanya telah membasahi pipi, Sagi menangis dalam diam. Meski terasa lebih sesak, tapi Sagi tetap mengusahakan suara isakannya tetap sunyi agar tak menganggu sang suami yang terlelap.
“Aku minta maaf… maafin aku Dy.” lirihnya ditengah tangis penyesalan. Sagi sadar kesalahannya terlalu besar untuk dapat pengampunan, tak bisa menjadi suami nan ayah yang siaga, pengecut, dan pembohong pula. Sagi merasa pantas mendapat tinjuan dadi Gaudi nanti. Ia akan menerimanya dengan suka hati, Asalkan suaminya itu bisa kembali pulih.
Sagi merutukkan kenapa ia kurang awas saat Gaudi sering mual dipagi hari, padahal mudah baginya memperoleh akses pengobatan. Merawat Gaudi dengan fasilitas terbaik. Tapi lagi lagi ketidakpekaannya menghilangkan kesempatan itu.
Lega, itu yang sekarang Gaudi rasakan. Tak ada lagi rasa mual, tak ada lagi rasa sakit pinggang, & tentunya tak ada lagi aliran dara di pahanya. Namun anehnya, Gaudi tak merasa bahagia dengan fakta itu.
“The Baby!” pekiknya dengan panik, kedua tangannya refleks meraba perutnya yang rata tanpa tanda kehamilan & hal itu membuat Gaudi makin panik. “Baby… bayiku…please no..” Gaudi meraung panik. Mendadak ia merasa rela tubuhnya sakit sepanjang hari asal bayi itu masih hidup dalam rahimnya. Hal yang tak pernah terlintas dari pikiran Gaudi sebelumnya, yaitu melahirkan seorang anak dan menjalin hubungan keluarga yang harmonis.
“No please.. aku mau hamil.. please hamil.” layaknya sebuah pintu teater, cahaya terang tiba-tiba menganggu penglihatan Gaudi. Membuat lelaki itu meringkuk kesilauan dan akhirnya..
“Kamu sudah bangun, Nak?” pertanyaan lembut itu yang pertama kali terdengar oleh Gaudi saat mencoba membuka kelopak matanya yang berat. Gaudi sempat mengernyit memastikan apakah ia masih bermimpi atau suara ini benar milik Ibunya.