A777983D-744E-4876-8D84-FED37A7A176E.jpeg

Hivi mendorong mangkok soto yang kini tersisa kuahnya saja. Setelah Marve berhasil membujuk Hivi untuk mencari sarapan, mereka memilih warung soto mang ucup yang terletak di pinggir jalan sebagai pilihan. Rasa soto mang ucup yang dapat memanjakan lidah ditambah dengan koya gurih dan beberapa potongan jerohan sudah cukup membuat mood Hivi kembali naik.

Disini tidak ada tenda maupun meja dan kursi. Tempat makannya lesehan dengan atap pohon rindang yang tumbuh disepanjang jalan, kalau makan soto disini lebih baik pas pagi seperti sekarang, karena kalau siang panasnya kota Jakarta itu minta ampun. Pohon serindang beringin pun tak dapat melindungi.

Dihadapan Hivi masih ada semangkok lagi soto milik Marve yang baru dimakan setengah akibat ditinggal pemiliknya, Marve berdiri agak jauh setelah ponselnya menerima panggilan dari nomor sang Bunda.

“Iya Bun, ini lagi sarapan, Bunda udah makan?” ujarnya manis sekali, nggak seperti Marve yang biasa ditunjukkan di depan orang-orang selama ini.

“Oh kontrolnya besok siang, oke nanti Marve temenin ya.”

Hivi sedikit menahan tawa setiap Marve menyebutkan namanya sendiri ketika sedang berbicara dengan bundanya. Serius, ini bukan dia banget!

Sembari menunggu Marve yang tengah menelfon, Hivi dikejutkan oleh seekor anak kucing yang menghampirinya. Kucing berwarna putih bersih itu mengeong seorang diri.

“Pst.. laper ya?” ucap Hivi pelan seolah kucing mungil itu dapat menegerti ucapannya. “Lucuu bangett..” kucing itu masih menggesekan tubuh pada kaki Hivi.

“Iya Bund, Marve nggak nakal kok. I love you.” adalah kalimat penutup dari Marve untuk bundanya.

“Mau hujan, Vi” ucap Marve yang kembali duduk bersila di depannya. Artinya ia harus cepat-cepat menghabiskan soto dimangkoknya kalau tak ingin makan sambil kehujanan.