362E312A-0412-4670-89CF-EF93E2B51A64.jpeg

Menjadi penurut apalagi melaksanakan ucapan orang lain bukanlah kebiasaan Marve, jadi malam ini ia memutuskan untuk kabur dari asrama dan pergi ke rumah sakit. Memastikan kekasihnya itu didampingi, disayangi dan dilindungi ketika sedang pada masa lara.

Marve bahkan ingat diluar kepala nama ruang tempat Hivi di opname, sehingga Marve tak perlu lagi bertanya pada suster yang jaga malam.

Kamar inap ini memiliki tipe sharing room bersama 4 pasien lain, beruntungnya ruangan ini ternyata ditempati oleh dua pasien.. Hivi dan satu lagi pasien perempuan yang dijaga kedua anaknya yang berusia remaja. Dua bed yang lain dibiarkan kosong.

Sejak memasuki kamar, Marve dapat mendengar suara berisik dari dua remaja yang Marve taksir duduk di bangku sekolah dasar. Awalnya Marve abai, ia hanya ingin lekas bertemu dengan Hivi.

Namun setelah ia menyadari wajah damai dan pucat Hivi saat tertidur sedikit terusik akibat kedua bocil itu. Marve ingin sekali menegur, tapi belum sempat melakukan itu kemeja Marve diremas kuat oleh Hivi yang masih tertidur.

“Kak.. Marv… berisik.., peluk..” rengek Hivi setengan sadar, mengadu atas kebisingan yang daritadi menganggu istirahatnya.

“Iya sayang,.. aku tegur dulu”

“Peluk .. sampe nggak bisa denger” sikap needy Hivi akhirnya mendapat kekuatan untuk mengalahkan sifat tsunderenya, Marve jelas menurut. Ia menutup tirai yang menjadi pembatas antara pasien lain dan mulai naik ke ranjang Hivi, ikut bergabung mengiringi Hivi

“Iya sayang, i’ll hug you” Marve melepas kemejanya agar lebih leluasa menelusupkan lengannya kebawah kepala Hivi, merengkuh badan Hivi erat hingga cowok itu menulikan telinga terhadap kebisingan apapun.

Hivi bagai tengah menemukan kenyamanan yang ia cari ikut merapatkan diri, tangan Marve tak tinggal diam bergerak naik turun mengusap punggung Hivi yang ikut terasa hangat. Ia juga berusaha keras agar tidak menyenggol aliran infus di tangan kiri Hivi.