68B5124B-A286-41D9-9264-B295F67588E5.jpeg

Setelah menekan 8 digit kode pintu dari smartdoornya, Ben pun mempersilahkan Arsen masuk. Saat pertama kali kaki Arsen menyapa, rumah Ben masih tampak gelap dan dingin. Tak lama sang pemilik pun menyalakan saklar lampu agar terang. “Duduk dulu, Sen.” tawarnya sambil menunjuk sofa panjang bewarna abu-abu. “Gue mau ganti bentar.” lanjutnya.

Arsen menurut, selagi menunggu ia menyiapkan beberapa berkas dan meteran badan dari tasnya. Rumah Benjamin tampak luas meski dari luar terlihat kecil, tak ada banyak barang disana. Hanya beberapa furnitur bewarna gelap dan beberapa bingkai foto Benjamin bersama Ibunya(?) Arsen tak yakin.

Nggak butuh waktu lama Ben udah keluar dari kamar dengan pakaian casual. Kaos putih dan sweatpants abu-abu. Makeup sisa pemotretanya pun sudah dihapus, membuat wajah barefacenya terlihat.

“Sorry lama.” katanya sebelum daratin pantat di sofa sebelah Arsen. “Nggak kok.” Arsen menyaut.

Dietisien itu langsung memulai sesi konsultasi, “Okey, gue mulai ya. Berhubung gue udah tau nama dan pekerjaan lo, jadi gue langsung ajuin pentanyaan lanjutan.” Ben mendengarkan sambil memijit batang hidungnya.

“Berat badan lo berapa?”

“62”

“Tinggi?”

“175.”

“Okey,” Arsen terdiam untuk menghitung sesuatu pada kertasnya. “Lo rajin olahraga?”