755424CF-45A1-4A98-A570-4AF2F476F0E0.jpeg

Marve lupa kapan terkahir rumahnya berkondisi ramai, satu tahun? tiga tahun? atau bahkan lima tahun?

Hilangnya memori mengenai tiap acara yang diadakan di rumah ini ketika mereka masih menjadi keluarga yang utuh menjadi bukti bahwa rumah ini sudah kehilangan kehangatannya sejak lama.

Dan kini akhirnya rumah yang penuh bunga ini kembali membuka pintu lagi, untuk khalayak umum, orang terdekat, tetangga, dan sanak saudara keluar masuk silih berganti untuk berbela sungkawa.

Semalam, satu pesan singkat dari suster Maya berhasil memporak porandakan hari Marve. Dirinya tak mengira hari duka ini akan terjadi di malam itu, padahal sebelumnya bunda tampak masih senang dan bersemangat menceritakan hari terindah dalam hidupnya ketika tadi siang merayakan keberhasilan Marve.

Sempat tak percaya dan menampar sendiri wajah mengantuknya berkali-kali tapi fakta itu tetap sama, Bunda-nya tetap pergi.

Tak ada yang dapat menghindari takdir kematian, bahkan meski Bunda adalah orang terkuat di dunia, ia masih perlu kembali kepada tuhan sang pemberi nyawa.

Sore itu saat papa kamu datang ke panti, bunda kamu sempat pingsan dan akhirnya dilarikan oleh ajudan Papamu ke rumah sakit terdekat. Saat itulah Bunda tau bahwa penyebab kelumpuhannya tak hanya didasari oleh benturan saat kecelakaan. Beliau juga terkena tumor tulang ekor yang membuat kakinya tak bisa bergerak untuk selamanya. Kita semua baru tau soal itu, Papa kamu bahkan sampai nangis tersungkur, meminta pengampunan sudah buat seperempat hidup Bundamu penuh penderitaan. Bunda memaafkan papa dengan syarat ‘Jangan ceritakan penyakitku pada Marve, dia terlalu banyak menyimpan kesedihan’ dan Papamu menyetujui. Bunda kamu juga menolak secara halus ajakan rujuk Papa kamu, alasannya karena masih dendam. Tapi, sebagai suster yang merawat bundamu selama bertahun-tahun. Suster tau kalau itu hanya alibi Bundamu agar tak merepotkan mantan suaminya lagi.

Hampa, sedih, dan kerinduan menjadi satu. Mengantar kepergian Bunda yang sedang diantar ambulan menuju rumah duka.

Marve bahkan tak memiliki kemampuan untuk mendorong air mata, ia hanya menatap kosong wajah Bundanya yang segera ditimbun dengan tanah. Memuaskan diri merekam tiap inci wajah cantiknya itu agar tersimpan lebih lama dalam memorynya.

Selamat tinggal, Bunda..